Padang Pariaman – Di bawah langit muram yang masih menyisakan gerimis, Bupati Padang Pariaman, Sumatera Barat, John Kenedy Azis berdiri mematung di tepi puing-puing jembatan Koto Buruk, Kecamatan Lubuak Aluang. Jembatan yang selama ini menjadi nadi kehidupan warga itu, kini tinggal rangka besi yang terkulai, dihancurkan banjir dahsyat aliran Batang Anai, Kamis (27/11/2025).
Angin lembap membawa aroma lumpur dan duka. Warga terdiam, sebagian menahan tangis. Sebagian kebingungan memikirkan bagaimana mereka harus hidup tanpa akses keluar masuk. Di tengah suasana pilu itu, Bupati John Kenedy Azis tampak tak sanggup menyembunyikan kesedihannya.
Matanya berkaca-kaca. Nafasnya berat. Ia berdiri lama tanpa kata. Lalu, dengan suara yang patah, ia berbisik. “Ini bukan sekadar jembatan… ini jalan hidup masyarakat kita.”
Putusnya jembatan membuat Sikabu terisolasi total. Anak-anak terjebak di rumah, rindu bersekolah. Lansia gelisah memikirkan obat yang tak bisa dijangkau. Ibu-ibu resah, memeluk anak mereka yang menangis ketakutan setiap kali mendengar suara air mengalir deras.
Di tepi sungai, beberapa warga memanggil nama keluarga dari seberang. Namun hanya suara arus deras yang menjawab. Situasi ini memukul hati setiap orang yang melihatnya. Termasuk sang bupati.
Meski air mata hampir jatuh, ia memaksakan ketegaran. Dengan suara yang digenggam kuat, ia memberikan instruksi didampingi Wabup Rahmat Hidayat dan Sekda Rudy Repanaldi Rilis yang menggambarkan kepedulian mendalam terhadap rakyatnya.
Pertama, “Selamatkan nyawa dulu.” Semua warga harus dievakuasi ke lokasi aman. Kedua, Semua unsur pemerintah turun tangan. Tidak boleh ada yang tinggal diam. Ketiga, Dapur umum segera dibuka. Tidak boleh ada warga yang kelaparan. Keempat, Sekolah diliburkan. Anak-anak harus diamankan, bukan dipaksakan belajar dalam kecemasan. Kelima, Memohon bantuan provinsi dan pusat. Karena bencana ini terlalu berat untuk ditanggung sendiri.
Di tengah lumpur, reruntuhan, dan wajah-wajah ketakutan itu, Bupati John Kenedy Azis menunduk. Tangannya mengepal, namun suaranya lirih. “Ya Allah… lindungi masyarakat kami. Ringankan musibah ini.”
Doanya tenggelam bersama gemuruh sungai, tapi harapan tetap hidup. Sebab di antara duka itu, ada tekad yang tidak ikut hanyut. Tekad untuk bangkit, saling menggenggam, dan pulih bersama.(rbay).







