Bandung – Vivit Rismawati, seorang perempuan berusia 21 tahun, sedang menghadapi tantangan besar setelah lulus kuliah pada Juli 2024. Meski memiliki gelar, ia masih kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Vivit kini bertahan hidup dengan mengelola kafe di Jalan Perjuangan, Cirebon, yang letaknya tidak jauh dari kampus tempat ia menuntut ilmu di IAIN Syekh Nurjati, yang kini bertransformasi menjadi UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
“Untuk sementara, saya membantu di kafe ini sambil mencari pekerjaan tetap. Kafe ini baru buka, jadi belum bisa memberi penghasilan yang cukup,” kata Vivit dalam percakapan beberapa waktu lalu.
Vivit mengaku merasa pesimis untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian akademisnya, karena banyaknya pesaing dan terbatasnya lowongan yang tersedia, terutama di bidang formal. Di sisi lain, banyak pekerjaan yang dibuka lebih banyak ditujukan untuk perempuan di sektor domestik, seperti pelayan atau bagian dapur. Sementara itu, peluang pekerjaan di bidang hukum, yang menjadi minatnya, sangat terbatas.
“Sering kali lowongan kerja lebih menekankan pada penampilan, seperti tinggi badan atau pengalaman, yang membuat saya merasa pesimis,” tambahnya.
Dengan tinggi badan 147 cm, Vivit merasa kesulitan melamar pekerjaan yang mensyaratkan tinggi badan minimal 155 cm. Akhirnya, ia memilih untuk fokus mengembangkan keterampilan dan pengalaman sebelum melamar pekerjaan lagi.
Vivit yang bercita-cita menjadi pengacara ini bertekad untuk melanjutkan pendidikan dan mencari pekerjaan yang lebih baik. “Saya ingin bekerja di sektor formal dan berharap bisa menabung untuk pendidikan lebih lanjut agar bisa menjadi pengacara,” ujarnya.
Ketimpangan Gender di Dunia Kerja
Vivit juga mencermati adanya ketimpangan gender di dunia kerja. Ia berharap pemerintah bisa lebih fokus pada penyelesaian masalah kesetaraan gender, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja perempuan.
Menurut data BPS Jawa Barat 2023, dari total 23,5 juta penduduk yang bekerja, hanya sekitar 8,5 juta di antaranya adalah perempuan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa meski jumlah tenaga kerja perempuan meningkat, penyerapan mereka di sektor formal jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Pada tahun 2023, hanya 31,15% tenaga kerja formal di Jawa Barat yang terdiri dari perempuan.
Di sisi lain, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki lebih tinggi, mencapai 84,63%, sedangkan TPAK perempuan hanya 47,98%. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara peluang kerja bagi laki-laki dan perempuan.
Isu Ketimpangan Gender dalam Pilgub Jawa Barat
Meski masalah ketimpangan gender cukup signifikan, hal ini tidak banyak dibahas dalam Pilgub Jawa Barat 2024. Kandidat yang terpilih, Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan, tidak menyinggung masalah ketimpangan gender dalam visi dan misinya. Begitu juga dengan pasangan lainnya, seperti Acep Adang Ruhiyat-Gitalis Dwinatarina dan Jeje Wiradinata-Ronal Surapradja. Isu mengenai kesetaraan gender di dunia kerja, terutama di sektor formal, tampaknya tidak menjadi prioritas.
Gitalis Dwinatarina, sebagai calon wakil gubernur, memang sering menyuarakan isu perempuan selama kampanye, namun tidak secara spesifik membahas kesetaraan gender di dunia kerja. Meskipun Gita memposisikan diri sebagai wakil perempuan, perhatian terhadap kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan masih kurang terfokus.
Mengubah Perspektif Kebijakan
Fahmina Institute, sebuah lembaga yang fokus pada isu-isu perempuan, menyoroti pentingnya perubahan perspektif para pemegang kebijakan. Rosidin, manajer Monev dan Riset Fahmina Institute, menyatakan bahwa ketimpangan gender di sektor ketenagakerjaan harus menjadi perhatian serius.
“Masih ada anggapan bahwa pencari nafkah utama adalah laki-laki, dan ini tercermin dalam kebijakan yang lebih banyak membuka lowongan kerja untuk laki-laki di sektor formal,” ujar Rosidin. Menurutnya, perubahan perspektif ini harus dimulai dengan penguatan kebijakan yang mendukung perempuan, seperti kebijakan 30 persen pegawai perempuan di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Fahmina Institute berharap untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan dalam dunia kerja dan mendesak perubahan kebijakan yang lebih adil.(BY)