Jakarta – Setelah berakhirnya Perang Diponegoro, situasi di Yogyakarta dan sekitarnya tidak langsung kembali kondusif. Pada waktu itu, wilayah kekuasaan Keraton Yogyakarta dan Surakarta semakin menyempit dan semakin bergantung pada pemerintahan Hindia-Belanda.
Wilayah yang sebelumnya menjadi kekuasaan Yogyakarta dan Surakarta, yang merupakan pecahan dari Mataram, kini terbatas. Kedua kerajaan ini kehilangan kendali atas daerah Mancanegara, sehingga wilayah kekuasaan mereka hanya mencakup Pajang, Mataram, Sukowati, dan Gunung Kidul.
Dalam urusan pemerintahan, baik Sultan Yogyakarta maupun Sunan Surakarta tidak lagi memiliki kebebasan bertindak sendiri, melainkan harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah Hindia-Belanda.
Penghasilan kedua kerajaan tersebut juga berubah. Mereka tidak lagi memperoleh uang dari pajak, melainkan digaji oleh pemerintah Hindia-Belanda sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Berdasarkan “Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia”, penghasilan para bangsawan dan pejabat kesultanan lainnya juga diatur oleh pemerintah Belanda. Keadaan sempat memanas karena beberapa bangsawan merasa tidak puas dengan kebijakan tersebut.
Keadaan di Yogyakarta akhirnya kembali tenang setelah Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Prabuningrat ditangkap dan dibuang pada tahun 1831, karena keduanya dicurigai akan berusaha melawan pemerintah Belanda.
Di Surakarta, Sunan Paku Buwono IV secara diam-diam meninggalkan istana pada Juni 1830, namun ia berhasil ditemukan dan ditangkap di Mancingan. Akibatnya, Sunan Paku Buwono IV dibuang ke Ambon oleh pemerintah Belanda, dan sebagai penggantinya, diangkat Pangeran Purboyo dengan gelar Sunan Paku Buwono VII.
Untuk lebih mempertegas batas kekuasaan Yogyakarta dan Surakarta, pada 27 September 1830, dilakukan perjanjian dengan Belanda yang menetapkan bahwa Sunan Surakarta menguasai Palang dan Sukowati, sementara Sultan Yogyakarta tetap memerintah Mataram dan Gunung Kidul.(BY)