Jakarta, – Harga batu bara mulai menunjukkan tren penguatan dalam sepekan terakhir. Optimisme para investor terhadap harga batu bara meningkat setelah munculnya indikasi kenaikan konsumsi yang didorong oleh kebijakan Amerika Serikat (AS) yang menarik diri dari pendanaan energi batu bara untuk beberapa negara.
Pada perdagangan Jumat (7/3/2025), harga batu bara di pasar spot tercatat naik 1,98%, mencapai US$108 per ton. Ini menjadi penguatan harga batu bara selama lima hari berturut-turut, dengan kenaikan mingguan mencapai 9,09%.
Menurut laporan dari Mining Technology, penurunan harga batu bara sebelumnya dinilai hanya bersifat sementara, karena kebutuhan energi di India dan China masih melampaui pertumbuhan energi terbarukan. Hal ini menunjukkan bahwa batu bara masih akan menguntungkan lebih lama dari yang diperkirakan, meskipun dapat menghambat pencapaian target iklim.
Gary Nagle, CEO Glencore, dalam laporan pendapatan bulan lalu, menyatakan bahwa persepsi terhadap batu bara mulai berubah. “Banyak mitra usaha patungan kami, terutama di Australia, ingin keluar dari bisnis batu bara uap,” ujarnya.
Perusahaan juga mengumumkan penurunan produksi tembaga, kobalt, seng, nikel, dan batu bara termal pada tahun 2024, sesuai dengan panduan yang telah diberikan pada Januari 2025.
Kurangnya kapasitas ekspor batu bara baru, karena kekurangan dana dari lembaga keuangan untuk proyek batu bara, menunjukkan bahwa pasar batu bara mungkin lebih ketat dalam jangka menengah hingga panjang.
Proyek batu bara termal baru secara global terutama terkonsentrasi di China dan India, dengan sedikit negara lain yang merencanakan peningkatan produksi secara signifikan.
Permintaan batu bara terus didorong oleh elektrifikasi rumah tangga, peningkatan pengisian daya kendaraan listrik, serta pembangunan pabrik, terutama di India, yang diperkirakan akan mengalami peningkatan permintaan sekitar 3% per tahun hingga 2030, menurut perkiraan Kementerian Batu Bara India.
Industri teknologi juga meningkatkan permintaan batu bara, karena pusat data yang mendukung komputasi awan dan kecerdasan buatan (AI) membutuhkan pasokan energi yang besar.
Akibatnya, perusahaan utilitas di negara-negara seperti AS, Jepang, dan Jerman tetap bergantung pada batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi mereka, meskipun semula mereka berencana menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Selain itu, AS telah menarik diri dari perjanjian iklim di mana negara-negara kaya berjanji memberikan miliaran dolar untuk membantu negara-negara berkembang beralih dari batu bara ke energi hijau. Langkah ini dapat mempengaruhi kesepakatan di masa depan untuk mengurangi emisi karbon.
Afrika Selatan mengonfirmasi bahwa AS telah memberikan pemberitahuan resmi mengenai penarikannya dari International Partners Group (IPG), yang berjanji untuk memberikan dana bagi transisi energi di negara-negara seperti Afrika Selatan, Indonesia, Vietnam, dan Senegal.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan, Chrispin Phiri, menyatakan bahwa AS menarik diri dari perjanjian dengan Afrika Selatan, Indonesia, dan Vietnam. Meskipun demikian, negara-negara anggota IPG lainnya tetap berkomitmen memberikan dukungan.
Keputusan ini adalah bagian dari langkah Presiden Donald Trump dalam menarik AS dari kesepakatan iklim global. Sebelumnya, ia juga menandatangani perintah eksekutif untuk keluar dari Perjanjian Paris, yang bertujuan membatasi pemanasan global di bawah 2°C.
Akibat keputusan ini, Afrika Selatan diperkirakan akan kehilangan lebih dari $1 miliar dalam investasi dari AS yang sebelumnya dialokasikan untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara dan beralih ke energi terbarukan.
Di Indonesia, pendanaan untuk program transisi energi melalui Badan Bantuan AS (USAID) dan Departemen Energi AS juga dihentikan, menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada isu-isu iklim. (des*)