Jakarta – Rencana penghapusan cukai untuk etanol yang digunakan sebagai bahan bakar nabati (BBN) dianggap sebagai langkah pemerintah untuk mendukung pengembangan bioetanol.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Abadi Poernomo, menjelaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk mengurangi selisih harga antara bioetanol dan bensin, sehingga dapat menjadi lebih menarik bagi pelaku usaha.
“Saat ini, harga bioetanol berkisar Rp14 ribuan per liter. Oleh karena itu, isu mengenai cukai perlu diatasi agar dapat menarik produsen etanol, termasuk pabrik gula, untuk lebih mengutamakan produksi bioetanol dalam negeri,” ujarnya di Jakarta, Senin (28/10/2024).
Ia menambahkan bahwa banyak pelaku usaha yang ragu untuk mengembangkan bioetanol, disebabkan oleh besaran cukai untuk etanol yang mencapai Rp20.000 per liter, yang dianggap terlalu tinggi.
Selama ini, penerapan cukai terhadap etanol disebabkan karena penggunaannya dalam campuran minuman beralkohol. Menurut Abadi, jika cukai juga diterapkan pada etanol yang digunakan untuk BBN, hal ini akan sangat membebani pelaku usaha yang memiliki tugas untuk mengembangkan bioetanol.
Lebih lanjut, Abadi menjelaskan bahwa dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional yang segera ditetapkan menjadi PP, pelaku usaha tidak diperkenankan untuk menaikkan harga jual bioetanol saat dipasarkan kepada masyarakat.
“Jadi, harganya tetap sama. Jika bioetanol dicampurkan ke dalam bahan bakar minyak, maka harga jual tetap tidak berubah, misalnya sekitar Rp12 ribuan,” jelasnya.
Abadi berharap bahwa penghapusan cukai ini akan memberikan dampak positif dalam mempromosikan bioetanol sebagai BBN, dengan harapan dapat mendukung pencapaian target Net Zero Emission (NZE) paling lambat pada tahun 2026 dan mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM.(BY)