Tekno  

Meta Digugat Rp39 Triliun di Kenya atas Dugaan Picu Konflik Etnis di Ethiopia

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Jakarta Meta, perusahaan induk dari Facebook, kini tengah menghadapi gugatan besar senilai USD 2,4 miliar atau sekitar Rp39,7 triliun di Kenya. Gugatan tersebut dilayangkan atas dugaan bahwa platform media sosial tersebut turut berperan dalam menyebarkan ujaran kebencian yang memperkeruh konflik etnis di Ethiopia.

Putusan dari Pengadilan Tinggi Kenya yang diumumkan pada Kamis (3/4/2025) menyatakan bahwa kasus ini layak untuk dilanjutkan. Gugatan tersebut diajukan oleh gabungan akademisi asal Ethiopia dan aktivis hak asasi manusia dari Kenya, yang telah menyelidiki dampak negatif konten Facebook selama konflik bersenjata di wilayah Tigray, Ethiopia.

Facebook Dituding Sebarkan Konten Kekerasan Lewat Algoritma
Menurut para penggugat, sistem rekomendasi otomatis Facebook diduga memperbesar jangkauan unggahan bermuatan kekerasan selama konflik Tigray yang berlangsung lebih dari dua tahun hingga akhir 2022. Salah satu korban dalam konflik tersebut adalah Profesor Maereg Amare, yang tewas setelah data pribadinya disebar melalui unggahan berisi ancaman di Facebook. Anaknya, Abrham Meareg, menjadi salah satu penggugat dalam kasus ini.

Baca Juga  Meta Luncurkan Cerdas Digital, Lindungi Remaja di Dunia Maya

Fisseha Tekle, mantan peneliti Amnesty International yang juga ikut menggugat, mengaku mendapatkan ancaman serupa di platform milik Meta tersebut. Selain individu, organisasi hukum nirlaba Katiba Institute (KI) yang berbasis di Kenya juga turut menjadi pemohon dalam perkara ini.

Para penggugat menuntut agar Meta:

Menambah jumlah moderator konten di wilayah Afrika,

Memberikan kompensasi dalam bentuk dana khusus bagi para korban sebesar USD 2,4 miliar,

Memperbaiki sistem algoritma agar tidak memicu penyebaran konten kebencian,

Serta mengeluarkan permintaan maaf publik atas kematian Profesor Maereg.

Meta Tolak Yurisdiksi
Meta menolak tuduhan tersebut dan berargumen bahwa pengadilan Kenya tidak berwenang mengadili perusahaan karena tidak memiliki badan hukum di negara itu. Namun, hakim di Nairobi menolak alasan tersebut dan menyatakan bahwa dampak aktivitas perusahaan terhadap masyarakat lokal bisa menjadi dasar hukum yang kuat untuk proses pengadilan.

Baca Juga  Meta Perketat Keamanan Digital untuk Lindungi Anak dan Remaja

Direktur Eksekutif Katiba Institute, Nora Mbagathi, menyebut putusan itu sebagai langkah penting untuk menuntut pertanggungjawaban perusahaan teknologi atas dampak sosial di benua Afrika.

Bukan Kasus Pertama
Meta juga sempat dituntut pada 2021 atas tuduhan serupa terkait genosida terhadap komunitas Rohingya di Myanmar. Saat itu, gugatan yang diajukan mencapai USD 150 miliar.

Konflik di Tigray sendiri telah merenggut lebih dari 100.000 nyawa dan dinobatkan sebagai salah satu perang paling mematikan di dunia oleh Peace Research Institute Oslo. Meskipun konflik telah dihentikan melalui perjanjian damai Pretoria yang dimediasi Uni Afrika, ketegangan baru di wilayah tersebut terus memunculkan kekhawatiran akan potensi pecahnya perang saudara yang baru.(BY)