Jakarta – Sektor manufaktur Indonesia terus menunjukkan performa yang positif. Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan Februari 2024 berada di zona ekspansif, mencapai angka 52,7.
Menurut data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), permintaan domestik dan juga dari mitra dagang utama masih tumbuh kuat, meskipun menghadapi tantangan pelemahan aktivitas ekonomi global.
Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, menyebutkan bahwa beberapa negara mitra dagang Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan dalam sektor manufakturnya, seperti India (56,7) dan Amerika Serikat (51,5). Namun, PMI manufaktur di negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand masih menunjukkan kontraksi, masing-masing mencapai level 49,5 dan 45,3.
“Meskipun ekonomi global mengalami penurunan dan beberapa negara masih menghadapi perlambatan dalam sektor manufaktur, Indonesia berhasil mempertahankan aktivitas manufakturnya yang kuat. Ini merupakan prestasi yang akan terus ditingkatkan dengan optimalisasi APBN dan kesiapan menghadapi risiko global saat ini,” ujar Febrio pada Jumat (1/3/2024).
Pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia yang masih positif ini didorong oleh permintaan domestik dan pembelian barang input, sebagai persiapan menghadapi peningkatan permintaan menjelang bulan Ramadhan. Febrio menilai bahwa kepercayaan bisnis pada Februari 2024 mencapai level tertinggi, menunjukkan optimisme pelaku bisnis terhadap prospek produksi Indonesia sepanjang tahun 2024.
Sementara itu, inflasi pada bulan Februari 2024 masih terkendali dan tetap berada dalam kisaran target pemerintah, meskipun mengalami sedikit kenaikan menjadi 2,75%. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh kenaikan harga pangan, terutama beras.
“Pemerintah akan terus mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menjaga ketersediaan dan harga pangan yang terjangkau menjelang momen Ramadhan dan Idul Fitri 2024,” ungkapnya.
Berdasarkan data, inflasi pada pangan yang fluktuatif masih menunjukkan tren kenaikan, mencapai 8,47% (tahun ke tahun) pada bulan Februari. Harga beras, yang merupakan komoditas dengan bobot inflasi terbesar dalam kelompok makanan, terus mengalami kenaikan sejak tahun 2023.
Kenaikan harga ini salah satunya disebabkan oleh produksi yang rendah akibat cuaca yang mempengaruhi siklus tanam dan panen. Puncak panen diperkirakan baru akan terjadi pada bulan April mendatang. Selain beras, beberapa bahan pangan lain yang mengalami kenaikan harga adalah cabai merah, telur ayam ras, daging ayam ras, dan kentang.
Di sisi lain, inflasi inti, yang merupakan komponen terbesar dari inflasi, tetap stabil pada angka 1,68%, sementara inflasi harga yang diatur pemerintah mengalami penurunan tipis menjadi 1,67% dari 1,74% pada bulan Januari 2024. Meskipun mengalami penurunan perlahan, pergerakan inflasi harga yang diatur pemerintah perlu diawasi mengingat risiko kenaikan tarif transportasi pada bulan depan menjelang masa mudik Lebaran.
“Pemerintah akan terus mengambil langkah-langkah mitigasi risiko untuk mengatasi potensi gejolak harga pangan, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pemerintah secara konsisten berupaya untuk menjaga ketersediaan pasokan,” jelas Febrio.
Beberapa kebijakan yang diambil untuk menstabilkan harga beras, antara lain melalui operasi pasar dan pasar murah, dukungan subsidi pupuk, percepatan penyaluran beras Stabilisasi Pasokan Harga Pangan (SPHP), percepatan impor, dan pembatasan pembelian ritel untuk menghindari panic buying.
“Inflasi pada bahan pangan yang fluktuatif diharapkan dapat kembali turun di bawah 5% untuk mendukung pencapaian sasaran pemerintah tahun 2024,” tambah Febrio.(BY)