Jakarta – Dalam sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan timah, jaksa menghadirkan Eko Zuniarto Saputro, mantan Kepala Unit Pengelola Peleburan Mitra (UPPM) PT Timah Tbk, sebagai saksi. Eko mengungkapkan bahwa PT Timah harus mengeluarkan biaya tambahan untuk peleburan karena kadar lebur dari smelter swasta tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (4/10/2024), terdakwa yang dihadirkan adalah Tamron alias Aon selaku pemilik CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia, Achmad Albani yang menjabat sebagai General Manager Operational CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia, serta Hasan Tjhie yang merupakan Direktur Utama CV Venus Inti Perkasa. Juga hadir Kwan Yung alias Buyung, seorang pengepul bijih timah.
Eko menjelaskan bahwa kadar lebur logam timah di PT Timah mencapai 99,9 persen, sedangkan smelter swasta hanya memberikan kadar lebur sebesar 98,5 persen pada tahun 2018. “Produk PT Timah adalah 99,9 persen,” jelas Eko.
Saat jaksa bertanya tentang kadar yang diperoleh, Eko menambahkan, “Berdasarkan penerimaan pada 2018, pernah ada kadar 98,5 persen, kemudian setelah ada instruksi pemurnian, penerimaannya kembali 99,9 persen.”
Jaksa juga menanyakan jumlah biaya tambahan yang dikeluarkan PT Timah untuk pemurnian dari hasil peleburan smelter swasta. Eko menyebutkan bahwa biaya tersebut berkisar antara USD 200 hingga 300, tergantung pada tingkat pemurnian. “Kami tidak pernah menghitung biaya peleburan secara terpisah di Muntok. Semua merupakan satu kesatuan dalam satu proses. Namun, ada kertas kerja yang menunjukkan kisaran biaya pemurnian antara 200 hingga 300 dolar per ton, tergantung pada impurities,” tuturnya.
Selain itu, jaksa juga mendalami mengenai pembayaran ke smelter swasta tanpa adanya proses pengolahan bijih timah. Jaksa menyoroti bahwa laporan yang disampaikan tampak seolah terjadi proses pengolahan. “Bijih yang diantar tidak berasal dari proses pengolahan. Mengapa harus dibayarkan sebagai bijih plus logam?” tanya jaksa. Eko menjawab, “Saya hanya tahu menerima logam yang sudah jadi.”
Jaksa sebelumnya telah membacakan dakwaan mengenai kerugian negara akibat dugaan korupsi ini yang mencapai Rp 300 triliun. Angka tersebut diambil dari laporan hasil audit mengenai kerugian keuangan negara dalam pengelolaan timah, sebagaimana tercantum dalam dokumen nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tanggal 28 Mei.
Kerugian tersebut dihitung dari nilai kerja sama PT Timah dengan smelter swasta yang tidak didukung kajian dan berdampak pada kerusakan ekologis. Helena Lim, terdakwa lain, didakwa menerima uang hasil korupsi tersebut melalui money changer miliknya.
“Telah mengakibatkan kerugian pada keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 hingga 2022,” ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Rabu (21/8).(BY)