Tekno  

Komdigi Dorong Pengembangan AI Nasional Bebas Bias Budaya Asing

Ilustrasi.
Ilustrasi.

JakartaKementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menekankan pentingnya penguatan pengembangan kecerdasan buatan (AI) dalam negeri agar teknologi yang digunakan di Indonesia tidak sarat dengan bias budaya asing. Hal ini dinilai krusial mengingat sebagian besar sistem AI saat ini dilatih menggunakan basis pengetahuan global.

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menyampaikan bahwa persaingan di industri AI semakin ketat. Para pengembang berlomba menciptakan sistem AI yang paling canggih dan mampu menjalankan berbagai instruksi kompleks.

Menurutnya, selain model bahasa berskala besar atau large language model (LLM) yang banyak dimanfaatkan untuk menjawab pertanyaan, menghasilkan konten audio-visual, hingga membantu pemecahan masalah, terdapat pula small language model (SLM) yang dirancang untuk kebutuhan khusus dan lebih spesifik.

Nezar menilai SLM membuka peluang besar bagi akademisi dan pengembang lokal untuk membangun solusi AI yang lebih relevan dengan kebutuhan sektor tertentu. Berbeda dengan LLM, SLM dilatih menggunakan data yang lebih terfokus sehingga mampu memberikan jawaban yang lebih presisi pada bidang tertentu.

“SLM memiliki karakter berbeda karena dilatih dengan kumpulan data yang spesifik, sehingga akurasinya lebih tinggi untuk menjawab persoalan di area tertentu,” ujar Nezar dalam keterangan resminya.

Ia memberi contoh, AI berbasis SLM yang dilatih menggunakan data kebijakan publik akan memudahkan masyarakat dalam memperoleh jawaban terkait isu-isu pemerintahan tanpa perlu memahami teknik penulisan perintah atau prompt engineering yang rumit.

Di sisi lain, Nezar menyoroti bahwa banyak platform AI berbasis LLM yang digunakan masyarakat Indonesia saat ini dikembangkan dengan data latih dari negara asal pembuatnya. Akibatnya, hasil yang diberikan sering kali tidak sesuai dengan konteks sosial dan budaya Indonesia.

“Setiap AI membawa preferensi dan nilai budaya dari lingkungan tempat ia dikembangkan. Model bahasa besar merupakan cerminan pengetahuan dan budaya asalnya. Ketika digunakan di konteks yang berbeda, sering muncul ketidaksesuaian dan bias,” jelasnya.

Karena itu, ia menegaskan perlunya Indonesia membangun platform AI mandiri yang berakar pada nilai-nilai nasional. Menurut Nezar, pengembangan sovereign AI harus dilandasi norma dan prinsip dasar bangsa.

“Kita memiliki Pancasila sebagai fondasi nilai. Ini merupakan modal yang sangat kuat dan menarik untuk dijadikan dasar pengembangan AI nasional,” ujarnya.

Nezar juga berharap riset dan pengembangan AI yang dilakukan oleh kalangan akademisi tidak berhenti di ranah teori, melainkan mampu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Ia menilai hal tersebut penting untuk mendukung tata kelola AI yang adil serta mendorong transformasi digital yang inklusif di Indonesia.

Jakarta – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menekankan pentingnya penguatan pengembangan kecerdasan buatan (AI) dalam negeri agar teknologi yang digunakan di Indonesia tidak sarat dengan bias budaya asing. Hal ini dinilai krusial mengingat sebagian besar sistem AI saat ini dilatih menggunakan basis pengetahuan global.

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menyampaikan bahwa persaingan di industri AI semakin ketat. Para pengembang berlomba menciptakan sistem AI yang paling canggih dan mampu menjalankan berbagai instruksi kompleks.

Menurutnya, selain model bahasa berskala besar atau large language model (LLM) yang banyak dimanfaatkan untuk menjawab pertanyaan, menghasilkan konten audio-visual, hingga membantu pemecahan masalah, terdapat pula small language model (SLM) yang dirancang untuk kebutuhan khusus dan lebih spesifik.

Nezar menilai SLM membuka peluang besar bagi akademisi dan pengembang lokal untuk membangun solusi AI yang lebih relevan dengan kebutuhan sektor tertentu. Berbeda dengan LLM, SLM dilatih menggunakan data yang lebih terfokus sehingga mampu memberikan jawaban yang lebih presisi pada bidang tertentu.

“SLM memiliki karakter berbeda karena dilatih dengan kumpulan data yang spesifik, sehingga akurasinya lebih tinggi untuk menjawab persoalan di area tertentu,” ujar Nezar dalam keterangan resminya.

Ia memberi contoh, AI berbasis SLM yang dilatih menggunakan data kebijakan publik akan memudahkan masyarakat dalam memperoleh jawaban terkait isu-isu pemerintahan tanpa perlu memahami teknik penulisan perintah atau prompt engineering yang rumit.

Di sisi lain, Nezar menyoroti bahwa banyak platform AI berbasis LLM yang digunakan masyarakat Indonesia saat ini dikembangkan dengan data latih dari negara asal pembuatnya. Akibatnya, hasil yang diberikan sering kali tidak sesuai dengan konteks sosial dan budaya Indonesia.

“Setiap AI membawa preferensi dan nilai budaya dari lingkungan tempat ia dikembangkan. Model bahasa besar merupakan cerminan pengetahuan dan budaya asalnya. Ketika digunakan di konteks yang berbeda, sering muncul ketidaksesuaian dan bias,” jelasnya.

Karena itu, ia menegaskan perlunya Indonesia membangun platform AI mandiri yang berakar pada nilai-nilai nasional. Menurut Nezar, pengembangan sovereign AI harus dilandasi norma dan prinsip dasar bangsa.

“Kita memiliki Pancasila sebagai fondasi nilai. Ini merupakan modal yang sangat kuat dan menarik untuk dijadikan dasar pengembangan AI nasional,” ujarnya.

Nezar juga berharap riset dan pengembangan AI yang dilakukan oleh kalangan akademisi tidak berhenti di ranah teori, melainkan mampu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Ia menilai hal tersebut penting untuk mendukung tata kelola AI yang adil serta mendorong transformasi digital yang inklusif di Indonesia.(BY)

Exit mobile version