Jakarta – Para ilmuwan memprediksi bahwa di masa depan, Bumi berisiko mengalami tabrakan dengan asteroid. Berdasarkan sebuah penelitian, kejadian ini dapat menimbulkan kerusakan yang sangat besar bagi planet kita.
Asteroid yang dimaksud adalah Bennu, yang memiliki diameter sekitar 500 meter. Studi dari Pusan National University, Korea Selatan, memperkirakan kemungkinan asteroid ini menabrak Bumi sebesar 1:2.700 pada September 2182, atau sekitar 0,037%.
Para peneliti menggunakan model iklim serta dukungan superkomputer Aleph dari ICCP atau IBS Center for Climate Physics di universitas tersebut untuk melakukan simulasi kemungkinan dampaknya.
Jika Bennu benar-benar menghantam Bumi, akibatnya bisa jauh lebih besar dibandingkan dengan asteroid yang menyebabkan kepunahan dinosaurus sekitar 66 juta tahun lalu, yang berdiameter sekitar 10 kilometer.
Dampak tabrakan diperkirakan akan memicu musim dingin global, mengurangi curah hujan, dan membuat suhu Bumi lebih rendah dari biasanya. Efek ini berpotensi berlangsung selama bertahun-tahun.
Berdasarkan simulasi yang dibuat, hantaman Bennu dapat menciptakan kawah besar serta menyebarkan material ke atmosfer. Selain itu, gelombang kejut dan gempa bumi berkekuatan besar juga bisa terjadi akibat tumbukan tersebut.
Sejumlah besar aerosol dan gas dari tabrakan akan terangkat ke atmosfer, yang pada akhirnya dapat mengubah pola iklim di seluruh dunia.
Jika Bennu jatuh ke lautan, penelitian menunjukkan bahwa gelombang tsunami raksasa akan terjadi, sementara uap air dalam jumlah besar akan naik ke atmosfer. Selain itu, peristiwa ini juga diperkirakan dapat menyebabkan penipisan lapisan ozon.
Menurut peneliti utama dari ICPP, Lan Dai, skenario terburuk yang mungkin terjadi adalah sekitar 400 juta ton debu akan terperangkap di atmosfer. Hal ini dapat menyebabkan penurunan suhu drastis, serta berkurangnya intensitas sinar matahari dan curah hujan.
“Analisis kami menunjukkan bahwa partikel debu yang tersuspensi di atmosfer selama sekitar dua tahun bisa memicu musim dingin akibat tabrakan yang berlangsung lebih dari empat tahun,” ujarnya, dikutip dari CNN International, Jumat (7/2/2025).
“Kondisi ini akan sangat tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, dengan tingkat fotosintesis yang diperkirakan turun 20-30% pada awalnya, sehingga dapat mengganggu ketahanan pangan global,” tambahnya.(des*)