Dampak Tarif AS, Harga Batu Bara Kembali Melemah

Harga Batu Bara
ilustrasi

Jakarta Harga batu bara kembali mengalami pelemahan setelah sebelumnya sempat menguat. Pelemahan ini terjadi setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menegaskan rencananya untuk menerapkan tarif baru. Bahkan, langkah China dalam memperkuat sektor energi batu bara tidak mampu mengangkat harga komoditas ini.

Berdasarkan data Refinitiv, harga batu bara dalam perdagangan Kamis (13/2/2025) ditutup di angka US$ 106,3 per ton, turun 1,02%. Sebelumnya, pada Rabu, harga batu bara sempat naik sebesar 0,66%.

Penurunan harga batu bara ini dipengaruhi oleh kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Trump.

Presiden Trump menginstruksikan pemerintahannya untuk mempertimbangkan penerapan tarif resiprokal terhadap sejumlah mitra dagang. Ia menilai bahwa sistem tarif yang berlaku saat ini tidak menguntungkan AS.

Pada hari Kamis (13/2/2025), Trump menandatangani memorandum presiden yang menguraikan rencananya dalam memberlakukan tarif resiprokal terhadap negara-negara mitra dagang AS.

Melalui kebijakan ini, Perwakilan Perdagangan AS dan Menteri Perdagangan akan diminta untuk merancang bea masuk baru bagi masing-masing negara sebagai bagian dari upaya menyeimbangkan hubungan perdagangan.

Proses penerapan kebijakan ini diperkirakan akan memakan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Howard Lutnick, yang diusulkan menjadi Menteri Perdagangan, menyatakan bahwa seluruh kajian harus selesai sebelum 1 April, sehingga Trump dapat segera mengambil langkah berikutnya.

Baca Juga  Pria Tertua di Dunia Meninggal pada Usia 127 Tahun, Sebelum Ulang Tahun ke-128

Penerapan tarif ini menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap perdagangan global dan harga komoditas, termasuk batu bara.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa China akan mengurangi impor batu bara dari AS akibat kebijakan tarif ini, yang berpotensi membuat batu bara AS membanjiri pasar global dan semakin menekan harga.

Meskipun China diprediksi masih akan meningkatkan permintaan batu bara untuk mendukung pembangunan pembangkit listrik baru, harga komoditas ini tetap mengalami tekanan.

Mengutip Reuters, China telah memulai pembangunan hampir 100 gigawatt kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara baru sepanjang tahun lalu. Angka ini menjadi yang tertinggi dalam hampir satu dekade terakhir.

Langkah ini memunculkan kekhawatiran mengenai komitmen China dalam mengurangi emisi karbon. Peningkatan proyek batu bara berisiko menghambat ekspansi besar-besaran negara tersebut dalam energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, yang sejauh ini telah berkembang pesat melebihi AS dan Eropa.

Sebagai negara dengan konsumsi batu bara terbesar di dunia sekaligus penghasil gas rumah kaca utama, China berjanji akan “mengontrol secara ketat” pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dalam periode 2021-2025. Namun, kekhawatiran akan defisit energi telah mendorong lonjakan proyek baru sejak 2023.

Baca Juga  Presiden AS Ancam Tahan Kiriman Senjata ke Israel

“Jika ketergantungan pada batu bara tetap tinggi dalam sistem kelistrikan China, akan semakin sulit untuk mencapai penurunan emisi yang cepat,” ujar Qi Qin, peneliti dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), dikutip dari Reuters.

Dalam sepuluh tahun terakhir, China telah menonaktifkan lebih dari 100 GW kapasitas pembangkit listrik batu bara yang sudah usang. Pembangunan proyek baru hanya diperbolehkan untuk menjaga stabilitas pasokan energi terbarukan.

Di sisi lain, China berhasil memasang kapasitas tenaga angin dan surya sebesar 356 GW sepanjang tahun lalu, bahkan lebih cepat dari target 2030 yang ditetapkan, yakni mencapai 1.200 GW energi terbarukan.

Namun, tenaga terbarukan masih menghadapi tantangan dalam integrasi ke jaringan listrik China. Tingkat pemanfaatannya dilaporkan mengalami penurunan tajam menjelang akhir tahun lalu, yang menjadi tantangan bagi transisi energi negara tersebut. (des*)