Jakarta – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memastikan bahwa Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) akan mulai diberlakukan sebagai pengganti sistem kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan pada Juni 2025. Implementasi KRIS ini juga akan berdampak pada perubahan skema iuran peserta.
“Kami berharap pada Juni ini seluruh rumah sakit sudah mulai menerapkan KRIS,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Jakarta, Rabu (19/2/2025).
Menurut Budi, dari total 3.228 rumah sakit di Indonesia, hanya 115 rumah sakit yang tidak diwajibkan untuk menerapkan KRIS. Namun, ia tidak menjelaskan alasan pengecualian tersebut.
Menkes menegaskan bahwa KRIS bertujuan untuk menetapkan standar layanan minimal bagi pasien, bukan untuk menyeragamkan kelas perawatan.
“Fokus utama KRIS bukan pada kelas perawatan, melainkan memastikan layanan kesehatan memiliki standar minimal yang sama. Ada 12 standar yang harus dipenuhi, dan semuanya masih dalam batas yang wajar,” jelasnya.
KRIS mengharuskan rumah sakit memenuhi 12 standar layanan di setiap ruang rawat inapnya agar hak pasien dapat terpenuhi secara merata. Salah satu aspek yang dianggap penting adalah keberadaan kamar mandi dalam di setiap ruang rawat inap.
“Ada beberapa standar yang memang memerlukan penyesuaian, tetapi masih dalam batas yang manusiawi, seperti pemasangan kamar mandi di dalam ruangan agar pasien tidak perlu berbagi fasilitas dengan yang lain, mirip dengan sistem hotel,” kata Budi.
Apa Itu KRIS?
Penerapan KRIS telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024, yang menetapkan 12 persyaratan fasilitas ruang perawatan rawat inap, sebagaimana tertuang dalam Pasal 46A Ayat 1. Berikut adalah 12 standar yang harus dipenuhi rumah sakit:
- Struktur bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas tinggi.
- Ventilasi udara harus memenuhi syarat minimal enam kali pergantian udara per jam.
- Penerangan buatan di dalam ruangan harus memenuhi standar minimal 250 lux untuk penerangan umum dan 50 lux untuk pencahayaan saat tidur.
- Setiap tempat tidur harus dilengkapi dengan dua kotak kontak listrik dan sistem panggilan perawat (nurse call).
- Tersedia meja kecil (nakas) di samping setiap tempat tidur.
- Suhu ruangan harus dapat dipertahankan dalam kisaran 20-26 derajat Celsius.
- Ruangan harus dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, usia, serta jenis penyakit (infeksi dan non-infeksi).
- Kepadatan ruang rawat inap dibatasi maksimal empat tempat tidur, dengan jarak minimal 1,5 meter antara tepi tempat tidur.
- Terdapat tirai atau partisi yang dipasang dengan rel yang terbenam di plafon atau menggantung.
- Setiap ruang rawat inap harus memiliki kamar mandi di dalamnya.
- Kamar mandi harus memenuhi standar aksesibilitas.
- Setiap ruangan harus dilengkapi dengan outlet oksigen.
Perubahan Skema Kelas BPJS Kesehatan
Dengan diterapkannya KRIS, sistem kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan akan dihapus. Skema baru ini lebih mencerminkan prinsip gotong royong dalam sistem jaminan kesehatan nasional, di mana semua peserta akan mendapatkan ruang perawatan dengan standar yang setara, meskipun besaran iuran tetap berbeda.
“Asuransi sosial seharusnya berfungsi dengan prinsip solidaritas, di mana peserta dengan penghasilan lebih tinggi membayar lebih untuk membantu peserta yang kurang mampu. Tidak adil jika mereka yang membayar lebih juga meminta layanan lebih tinggi. KRIS bertujuan untuk meluruskan konsep ini,” ungkap Budi.
Dalam skema ini, peserta dengan kondisi ekonomi lebih baik masih bisa mendapatkan layanan kelas VIP, tetapi harus menggunakan asuransi tambahan dari pihak swasta yang telah terintegrasi dengan BPJS Kesehatan.
“Kami telah bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatur mekanisme kombinasi manfaat (combine benefit) antara asuransi swasta dan BPJS Kesehatan. Jadi, peserta hanya perlu membayar satu kali ke asuransi swasta, dan perusahaan asuransi akan membayarkan sisanya ke BPJS Kesehatan,” jelasnya.
Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Abdul Kadir, menambahkan bahwa meskipun KRIS diberlakukan, rumah sakit tetap dapat menyediakan layanan kelas 1, 2, dan VIP.
“KRIS tidak berarti semua tempat tidur di rumah sakit menjadi standar KRIS. Dalam aturan, hanya 60% tempat tidur di rumah sakit pemerintah yang wajib mengikuti skema ini. Sisanya masih bisa disediakan untuk kelas VIP atau layanan khusus lainnya,” jelas Abdul Kadir.
Peserta dengan kemampuan ekonomi lebih baik tetap bisa memilih layanan di kelas yang lebih tinggi dengan menambah asuransi swasta melalui skema combine benefit.
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan di 2026
Menkes mengungkapkan bahwa iuran BPJS Kesehatan akan mengalami penyesuaian pada 2026. Keputusan ini masih dalam pembahasan dengan Menteri Keuangan, tetapi ia menegaskan bahwa kenaikan iuran ini diperlukan mengingat biaya kesehatan masyarakat terus meningkat sekitar 15% per tahun.
“Jika inflasi mencapai 5% tetapi gaji pegawai tidak naik selama lima tahun, tentu itu tidak masuk akal. Begitu juga dengan BPJS, yang iurannya tidak berubah sejak 2020 sementara biaya kesehatan terus meningkat,” kata Budi.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menambahkan bahwa rasio beban jaminan terhadap pendapatan iuran BPJS Kesehatan telah mencapai 105,78% pada 2024. Dengan pendapatan iuran sebesar Rp 165,34 triliun, BPJS Kesehatan harus menanggung beban klaim sebesar Rp 174,90 triliun.
Namun, peserta dari kelompok masyarakat miskin akan tetap mendapatkan bantuan iuran (PBI) dari pemerintah agar mereka tetap memiliki akses ke layanan kesehatan. Pemerintah akan memastikan bahwa penerima manfaat PBI benar-benar tepat sasaran.
Besaran Iuran BPJS Kesehatan Saat Ini
Selama masa transisi menuju penerapan KRIS, iuran BPJS Kesehatan masih mengikuti aturan yang berlaku saat ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022. Berikut adalah skema iuran yang berlaku:
- PBI (Penerima Bantuan Iuran): Iuran dibayarkan oleh pemerintah.
- Pekerja Penerima Upah (PPU) di Instansi Pemerintah: Iuran sebesar 5% dari gaji per bulan, dengan rincian 4% ditanggung oleh pemberi kerja dan 1% oleh peserta.
- PPU di BUMN, BUMD, dan Swasta: Iuran sebesar 5% dari gaji per bulan, dengan 4% dibayar oleh pemberi kerja dan 1% oleh peserta.
- Iuran bagi keluarga tambahan PPU: Anak keempat dan seterusnya, serta orang tua/mertua dikenakan iuran 1% dari gaji per bulan per orang.
- Peserta mandiri (PBPU dan Bukan Pekerja):
- Kelas III: Rp 42.000 per bulan (sebagian dibantu oleh pemerintah).
- Kelas II: Rp 100.000 per bulan.
- Kelas I: Rp 150.000 per bulan.
- Veteran dan Perintis Kemerdekaan: Iuran sebesar 5% dari 45% gaji pokok PNS golongan III/a dengan masa kerja 14 tahun, dibayarkan oleh pemerintah.
Selama masa transisi, aturan iuran tetap berlaku dengan batas pembayaran hingga tanggal 10 setiap bulan. Mulai 1 Juli 2026, tidak akan ada denda keterlambatan pembayaran, kecuali jika peserta membutuhkan layanan rawat inap dalam 45 hari setelah status kepesertaan aktif kembali.(des*)