Jakarta – Badan Pangan Nasional (Bapanas) melaporkan bahwa komoditas beras mengalami deflasi pada akhir semester kedua 2025, meski berada di periode paceklik. Kondisi ini menunjukkan adanya perbaikan dalam sistem produksi dan distribusi pangan nasional.
Kepala Bapanas sekaligus Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menyebutkan bahwa deflasi harga beras terjadi secara berturut-turut selama dua hingga tiga bulan terakhir, sebuah fenomena yang jarang muncul dalam tujuh tahun terakhir, khususnya pada bulan Oktober hingga Desember.
“Alhamdulillah, beras menjadi penyumbang deflasi terbesar. Dalam dua hingga tiga bulan terakhir harga beras mengalami penurunan, sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam tujuh tahun terakhir pada periode paceklik, yakni Oktober hingga Desember, namun harga tetap stabil,” ujar Amran, dikutip Minggu (14/12/2025).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras di tingkat konsumen mencatat deflasi berturut-turut sejak September hingga November 2025 masing-masing sebesar 0,13 persen, 0,27 persen, dan 0,59 persen. Pada minggu pertama Desember, harga beras medium turun 0,06 persen, sedangkan beras premium turun 0,15 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Meski harga di tingkat konsumen menurun, Amran menegaskan bahwa hal ini tidak berdampak negatif pada kesejahteraan petani. Indeks harga yang diterima petani meningkat dari 136,78 pada Januari menjadi 144,59 pada November 2025. Bahkan pada September, indeks sempat mencapai 146,28, tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.
Kondisi ini sejalan dengan proyeksi produksi beras nasional yang diperkirakan mencapai 34,79 juta ton pada 2025. Nilai Tukar Petani (NTP) tercatat sebesar 121,06 pada April 2025, tertinggi dalam tujuh tahun terakhir, sementara NTP Tanaman Pangan (NTPP) mencapai 106,51.
Tren penurunan harga beras juga terjadi bersamaan dengan peningkatan produksi di sejumlah wilayah. Contohnya, di Papua Selatan, luas panen pada 2025 mencapai 80.124 hektare, naik 69,87 persen dibanding tahun sebelumnya.
Meski begitu, Amran mengakui tantangan distribusi beras di Papua masih cukup berat karena kondisi geografis. Distribusi ke beberapa daerah harus menggunakan pesawat atau truk dengan perjalanan berhari-hari.
“Kami baru kembali dari Papua. Harga beras di Zona 3 cukup tinggi karena medan yang berat. Ada yang harus dikirim lewat pesawat, ada juga melalui truk yang memakan waktu berhari-hari,” jelasnya.
Sebagai solusi jangka panjang, pemerintah menargetkan penguatan produksi beras lokal di Papua untuk memenuhi kebutuhan sekitar 660.000 ton per tahun. Saat ini pasokan baru mencapai 120.000 ton, sehingga masih dibutuhkan tambahan sekitar 500.000 ton atau setara dengan pengembangan lahan seluas 100.000 hektare.
“InsyaAllah, pada 2026 dan 2027 masalah ini bisa teratasi,” pungkas Amran.(BY)
