banner sidebar

Badai PHK Mengguncang Media, Seruan untuk Revolusi Penyiaran Indonesia

Kesibukan di ruang redaksi fajarharapan.id
Kesibukan di ruang redaksi fajarharapan.id

Jakarta, fajarharapan.id  – Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda industri media Indonesia dalam beberapa bulan terakhir bukan sekadar badai kecil, melainkan guncangan besar yang mengancam keberlangsungan dunia penyiaran nasional.

Dalam waktu singkat, sejumlah perusahaan media melakukan badai PHK secara masif. Kompas TV melepas 150 karyawan, CNN Indonesia 200, tvOne 75, Emtek 100, Republika 60—termasuk 29 wartawan, dan MNC Group melakukan penyusutan tajam dengan memangkas jumlah pemimpin redaksi dari 10 menjadi hanya 3 serta mem-PHK lebih dari 400 orang.

Angka-angka badai PHK bukan sekadar statistik. Di baliknya ada wajah-wajah jurnalis, kamerawan, produser, dan editor yang harus menata ulang hidup mereka di tengah ketidakpastian ekonomi dan masa depan profesi yang semakin suram.

Seorang akademisi komunikasi dan mantan regulator di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan menyatakan, “Fenomena ini merupakan gejala dari perubahan struktural besar yang sudah lama mengintai industri media, bukan sekadar dampak dari krisis ekonomi sesaat.”

Menurutnya, apa yang terjadi saat ini adalah hasil dari disrupsi digital yang telah mengubah cara konsumsi media secara radikal. Generasi muda kini lebih memilih mengakses konten melalui TikTok, YouTube, atau Netflix ketimbang menonton televisi secara linier. Data dari DataReportal bahkan mencatat bahwa penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 74,6 persen pada awal 2025, dengan 212 juta pengguna internet aktif dan 143 juta pengguna media sosial.

“Ketika perhatian publik bergeser ke platform digital, maka iklan pun ikut bermigrasi. Ini menghantam langsung fondasi bisnis media penyiaran konvensional yang selama ini sangat bergantung pada pendapatan iklan,” katanya.

Namun, di tengah gelombang perubahan itu, regulasi justru tertinggal jauh. Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 masih menjadi dasar hukum industri penyiaran hingga kini, meskipun telah usang dan tidak relevan di era digital. UU tersebut disusun pada masa ketika smartphone, media sosial, dan layanan streaming belum menjadi bagian dari keseharian masyarakat.

Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, dalam rapat bersama Komisi I DPR RI pada November 2024, dengan tegas menyatakan, “Tanpa revisi, KPI tidak akan memiliki kekuatan kelembagaan maupun kewenangan yang cukup untuk mengatur secara adil, terutama terhadap platform digital yang kini mendominasi distribusi konten.”

Ketimpangan regulasi ini menciptakan ketidakadilan struktural. Media televisi dan radio diatur ketat melalui berbagai kewajiban dan perizinan, sementara platform digital bebas beroperasi dengan minim pengawasan. Hal ini tentu merugikan penyiaran konvensional dan memperparah kesenjangan daya saing.

Namun, tidak adil pula jika hanya menyalahkan teknologi dan regulasi. Banyak pelaku industri media yang terjebak dalam model bisnis lama, enggan berubah, dan menunda adaptasi. Mereka masih mengandalkan perolehan rating dan penjualan slot iklan konvensional, meskipun tren pasar menunjukkan perubahan signifikan dalam perilaku audiens.

“Ketika pendapatan menyusut, PHK menjadi pilihan pertama, bukan opsi terakhir. Ini adalah tanda manajemen yang reaktif, bukan proaktif,” tegas sang akademisi.

Di sisi lain, transformasi justru sangat mungkin dilakukan. BBC di Inggris, NHK di Jepang, hingga Netflix di Amerika Serikat menunjukkan bahwa media bisa beradaptasi dengan sukses melalui diversifikasi pendapatan, pengembangan konten digital, dan perubahan total dalam struktur organisasi serta talenta.

Media penyiaran Indonesia harus mulai mengadopsi model hybrid—menggabungkan pendapatan dari iklan digital, langganan premium, monetisasi data penonton, serta produksi konten yang memiliki nilai komersial jangka panjang berbasis intellectual property.

Selain itu, transformasi talenta menjadi kunci. “Tenaga kerja media saat ini tidak cukup hanya bisa menulis atau merekam. Mereka harus memahami SEO, analitik data, storytelling multiplatform, dan strategi distribusi di media sosial,” ujarnya lagi.

Investasi dalam sumber daya manusia harus diarahkan ke penguasaan teknologi digital dan pemahaman pasar konten global. Bahkan, pendekatan kolaboratif dengan platform digital tidak lagi bisa dihindari. YouTube, Facebook, hingga Netflix bukan hanya pesaing, tetapi bisa menjadi mitra distribusi strategis.

Kekuatan lokal media Indonesia—yakni pemahaman terhadap budaya dan konteks sosial masyarakat—sebenarnya adalah modal besar yang tidak dimiliki oleh platform global. Dengan menggali nilai-nilai lokal dan membungkusnya dalam format konten yang kreatif dan menarik, media nasional bisa menciptakan keunggulan kompetitif yang tak tergantikan.

Di sisi regulasi, pembaruan hukum harus segera dilakukan dengan pendekatan platform-neutral. Regulasi tidak bisa lagi terlalu teknis, melainkan harus adaptif terhadap perkembangan teknologi, berbasis prinsip dasar yang menjaga keseimbangan antara kepentingan publik dan keberlanjutan industri.

Pendidikan tinggi pun harus ikut berperan. Kurikulum di jurusan jurnalistik dan komunikasi tidak bisa hanya mengandalkan teori media konvensional. Harus ada integrasi antara keterampilan jurnalistik, teknologi digital, pemahaman bisnis media, dan kewirausahaan konten.

Gelombang PHK ini harus dijadikan sebagai titik balik, bukan titik akhir. Ia adalah cermin bahwa industri media tidak bisa lagi mengandalkan zona nyaman. Transformasi menyeluruh adalah keharusan—bukan hanya untuk menyelamatkan perusahaan, tetapi juga demi menjaga keberlangsungan ruang publik demokratis di Indonesia.

Kini adalah saatnya penyiaran Indonesia bangkit. Bukan sekadar bertahan dari badai, tapi memimpin arus baru media digital yang semakin kompetitif, menuntut, dan tanpa kompromi.(*)