Endemi, Pariwisata, dan Supply Chain Management

Oleh : Yelita Anggiane Iskandar, S.T., M.T., Dosen Teknik Logistik Universitas Pertamina

Jakarta, fajarharapan.id – Waktu berjalan, masa berganti, dan perubahan menjadi tak terelakkan. Per 21 Juni 2023, Presiden RI, Joko Widodo secara resmi mencabut status pandemi Covid-19 di Indonesia, yang sebelumnya telah diperangi bersama-sama selama kurang lebih 3 tahun. Namun apakah ini berarti masalah terkait dan ikutan Covid juga selesai? Tentu tidak serta merta. Sekarang ini kita memasuki era baru yang disebut endemi, yaitu masa pasca pandemi dimana kita diminta untuk tetap memelihara perilaku hidup sehat dan bersih sebab meskipun relatif terkendali karena meningkatnya kekebalan masyarakat melawan virus namun tidak berarti ia hilang sepenuhnya. Sehubungan dengan karakteristik persebarannya maka kita mengenal istilah endemi, epidemi, dan pandemi, yang sepertinya perlu kita ulas kembali untuk bisa mengidentifikasi perbedaannya. Saya cukup ingat ketiga istilah terakhir sebenarnya pernah diajarkan di masa sekolah dulu dan pernah pula ditanyakan di ujian. Tetapi masihkah kita bisa membedakannya sekarang? Bagi yang tidak mendalami bidang yang berhubungan dengan penyakit, penanganan, beserta turunannya, bisa jadi sudah lupa definisi dari masing-masing istilah tersebut maka mari kita coba bedah satu per satu.

World Health Organization (WHO) sebagai badan pengarah kesehatan masyarakat berskala internasional, mengkategorikan masa meluasnya penyakit akibat Coronavirus (Covid-19) sebagai pandemi. Penyebaran suatu penyakit disebut telah menjadi pandemi apabila cakupannya sudah sampai lintas negara, yang mempengaruhi kehidupan manusia secara masif sehingga sulit dikendalikan. Pandemi menggambarkan penyebaran penyakit yang telah mencapai level tertinggi yang mungkin dikalkulasi. Jika skala penyebarannya lebih kecil, bukan level dunia, maka bisa kita sematkan istilah epidemi. Lebih spesifiknya, jika keparahan penyebarannya relatif tinggi, mencakup area yang cukup luas, ditambah kecepatan penularannya juga tidak biasa yang termasuk diluar batas dikatakan normal maka bisa kita sebut sebagai epidemi. Sisanya yakni endemi didefinisikan sebagai kejadian menyebarnya penyakit yang juga diluar batas normal seperti pada epidemi namun lingkupnya terbatas pada suatu wilayah saja. Kini masalah ingatan samar-samar demi memahami perbedaan endemi, epidemi, dan pandemi seyogyanya sudah terselesaikan.

Lalu bagaimana hubungan endemi dengan pariwisita dan supply chain management? Yang perlu diingat, status peralihan status ke endemi tidak menyelesaikan semua masalah yang timbul akibat pandemi, salah satunya yang terkait pariwisata. Bagi penggiat industri pariwisata, bisa jadi kata pariwisata tak terpisahkan dari kata pandemi maupun endemi. Kita turut menyaksikan bahwa salah satu sektor yang terpuruk akibat pandemi berkepanjangan adalah sektor pariwisata yang bahkan pada masa endemi, belumlah kembali sesemarak seperti sebelum terjadinya pandemi.

Baca Juga  Inovasi Tiga Sekawan Dongkrak Produksi Sumur Migas Tua

Pembatasan aktivitas secara ketat saat pandemi menyebabkan ekonomi industri melambat. Kita sebut saja sebagai ekonomi industri karena sektor inilah yang awal-awal dan terus-menerus terdampak aturan pembatasan aktivitas dimana perputaran barang, jasa, dan tentu saja uang sebagai alat transaksinya, menjadi tidak selancar pada masa sebelum pandemi. Di sisi lain, ketika ekonomi tersendat, efeknya turut dirasakan oleh industri pariwisata. Sebagaimana teori Maslow tentang piramida pemenuhan kebutuhan manusia maka disaat rata-rata orang bekerja keras masih untuk memenuhi kebutuhan primer maka kebutuhan yang berada pada hirarki yang lebih tinggi, tidak akan menjadi prioritas. Kebutuhan bersenang-senang, berwisata hingga aktualisasi diri secara otomatis dikesampingkan. Kondisi inilah yang menyebabkan anjloknya jika bukan mati surinya, industri pariwisata di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Lalu bagaimana kita bisa mengembalikan geliat pariwisata di masa endemi?

Jika Anda lulusan Teknik Industri, Manajemen, ataupun Bisnis maka istilah supply chain management (SCM) tentunya tidak asing. Ada banyak sekali ahli yang menjelaskan teori terkait SCM. Supply chain management atau manajemen rantai pasok ini dapat dijelaskan sebagai seni mengelola aliran barang dan/atau jasa mulai dari hulu ketika produk masih berupa bahan baku yang kemudian diproses di sepanjang aliran (maka disebut rantai) oleh berbagai pihak/aktor hingga barang atau jasa ini sampai ke hilir dan bisa dikonsumsi oleh pengguna akhir (end customer).

Konsep SCM ini pada prinsipnya dapat diterapkan di berbagai area, tidak terkecuali pariwisata sehingga kita mengenal juga istilah tourism supply chain management. SCM yang umum itu identik dengan industri manufaktur maka kita seringkali diberikan contoh kasus produksi mobil beserta suku cadangnya di kelas-kelas manajemen rantai pasok. Ketika kata tourism dikawinkan dengan SCM, sejatinya teori yang kita bahas serupa dengan SCM manufaktur. Pada SCM umum, kita mengenal produk-produk yang berwujud (tangible) maka pada tourism SCM, produk yang menjadi amatan adalah produk-produk berupa jasa pariwisata, yang “diproduksi” (dikemas) melalui rantai pasok pariwisata untuk dipasarkan kepada konsumen akhirnya yaitu turis atau pelancong. Pada SCM manufaktur, kita mengenal aktor-aktor rantai pasoknya yang meliputi pemasok bahan baku (supplier), produsen (pabrik), distributor, wholesaler, retailer, dan konsumen akhir. Sedangkan pada tourism SCM, aktor-aktornya secara spesifik mencakup pemasok (jasa transportasi, amenities, fasilitas dan infrastruktur wisata), pengelola atau penyedia jasa pariwisata yang bertindak seperti “pabrik” pada SCM manufaktur, hingga turis sebagai konsumen akhir yang menikmati jasa pariwisata yang disajikan.

Baca Juga  Solusi Kendala Literasi di Tengah Pesatnya Teknologi

Pengelolaan rantai pasok pariwisata utamanya ditujukan untuk mendorong tingkat “visit intention” yang jika dipupuk akan menjadi “tourist loyalty” yaitu keadaan dimana turis bersedia berkunjung dan datang kembali ke suatu area wisata. Kesediaan turis untuk berkunjung lebih dari sekali, dan dalam kelompok yang signifikan jumlahnya inilah yang akan menyehatkan industri pariwisata. Kita memang menyadari, penghambat utama diraihnya “tourist loyalty” adalah faktor-faktor yang terkait pandemi yang masih terus dirasakan di masa endemi. Suatu model konseptual yang dikemukakan pada disertasi berjudul “Impact of Logistics Service Performance on Tourist Satisfaction and Loyalty” (Liang, Hui-chung, 2008) menyebutkan bahwa “tourist loyalty” dipengaruhi oleh sejumlah hal: “tourist satisfaction”, “logistics service performance”, “perceived service value”, dan “tourism supplier’s service quality”. Maka sekarang ini, keempat faktor penentu “tourist loyalty” ini yang perlu diinvestigasi ulang dengan memasukkan pertimbangan-pertimbangan keamanan dan kenyamanan berwisata pada masa endemi. Dalam hal ini, perlu dilakukan berbagai penyesuaian di sepanjang rantai pasok pariwisata Indonesia, yang melibatkan berbagai pihak, tidak hanya penggerak langsung industri pariwisata tapi juga pemerintah pusat dan daerah yang berkepentingan.

Jika kita mampu meramu dengan tepat hal-hal ini: endemi, pariwisata, dan supply chain management, maka kita akan memperoleh manfaat yang nyata berupa kembali hidupnya industri pariwisata yang menyebabkan efek domino pada pemulihan ekonomi Indonesia. Studi lebih lanjut yang memperhatikan kondisi dan karakteristik masing-masing area atau penyedia jasa pariwisata, perlu disegerakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: